“Maaf, sudah waktunya kita
tutup. Anda bisa kembali esok hari.” Gadis mungil dengan sorot mata yang tajam seolah mengusir Dias yang sudah hampir berjam-jam duduk di sebuah meja dengan lampu temaram di depan jendela menghabiskan tiga gelas kopi hitam tanpa teman.
"Oh .. Baiklah” Dias bangkit dari tempat duduk sambil merapikan sisi belakang roknya dan beranjak dengan tatapan mata yang nanar. Melangkah dengan gontai menuju halte.
"Oh .. Baiklah” Dias bangkit dari tempat duduk sambil merapikan sisi belakang roknya dan beranjak dengan tatapan mata yang nanar. Melangkah dengan gontai menuju halte.
Tak beberapa lama Dias
menanti, gadis pelayan cafe itu datang menghampirinya. Ikut duduk tepat di
sampingnya tanpa berujar sepatah kata pun. Dias mungkin tak menyadari
keberadaannya, ia masih menikmati lamunannya yang tengah melambung tinggi ke
udara.
__
Sore ini Dias terlalu cepat mengunjungi cafe itu.
Cafe bernama cafe-in, tempat dimana Dias menghabiskan malam-malamnya yang gelap
pekat. Tirai besinya masih tertutup rapat. Dias berjalan dalam diam, menuju
halte yang bejarak hampir dua meter disebrang cafe, lalu duduk di halte seraya menatap
cafe yang masih belum terbuka.
Dihalte yang sama sang gadis
pelayan cafe turun dari sebuah bus, menjinjing kantong belanjaan yang cukup
penuh dan besar dengan kedua tangannya. Dengan terengah-engah ia sampai di
depan cafe. Membuka tirai besi yang tadi terkunci rapat. Selang persekian detik
setelah gadis pelayan berhasil membukanya Dias nyelonong masuk tanpa babibu.
Mengambil langkah menuju tempat duduk favoritnya.
“Kopi hitamnya satu mbak!”
Dias bergumam tanpa menoleh ke arah si gadis pelayan.
“Mohon ditunggu ya!”
Gadis pelayan belum sempat
memindahkan kantung besar yang ia letakkan tepat disamping pintu masuk dan
belum sempat bersih-bersih ketika kedatangan seorang pelanggan.
Selang beberapa menit gadis
pelayan datang membawa secangkir kopi dan sepotong sandwich lalu meletakkannya ke
meja Dias.
“Anu .. Saya tidak memesan ini!”
Dias menunjuk dua potong sandwich berukuran sedang dengan isian lengkap.
“Kau akan terserang maag jika
tak makan dari semalam dan mengkonsumsi kopi berlebihan. Dan itu sandwich
spesial untuk pelanggan pertama.” Gadis pelayan menjawab dengan ramah dan
mengedipkan sebelah matanya dengan centil.
“Bagaimana kau bisa tahu?”
“Aku bahkan tahu kau sudah
tidak tidur tiga hari kebelakang!”
“Kau paranormal?”
“Aku ibu peri.”
Gadis pelayan menjawabnya
dengan lengkung senyum menghiasi sudut bibirnya. Lalu berlalu meninggalkan Dias
yang masih tercekat.
Mau tak mau Dias mengunyah
sandwich yang telah diberikan. Ucapan gadis pelayan tentang maag ternyata
sedikit membuat Dias khawatir, ditambah ia bilang bahwa ini sandwich spesial.
Sinar mentari yang
menyilaukan sudah tak tampak digantikan cahaya rembulan yang berkilau. Dias
masih ditempat yang sama, menatap nanar keluar jendela. Dari kejauhan gadis
pelayan memperhatikan tingkahnya yang selalu sama tiap harinya. Namun tetap
fokus kepekerjaannya, melayani para tamu.
Hal yang berbeda hari ini
adalah Dias tak lagi menghabiskan sepnajang malam untuk melamun, ia mulai
membuka laptopnya dan mengerjakan tugas kuliahnya yang hampir deadline. Diseberangnya
gadis pelayan tersenyum menatapnya.
Hari semakin gelap ketika Dias menanti gadis
pelayan mengusirnya. Ia ingin berterima kasih untuk sandwich lezat tadi sore.
Ia menyapu pandang kesetiap sisi ruangan, terlihat gadis pelayan sedang
mengelap beberapa meja. Beberapa saat Dias sempat memperhatikannya dalam dalam.
Sejenak Dias terpaku melihatnya. Ia terlihat sangat imut mengenakan seragam
cafe itu. Rok pendek berenda dan pita besar dikerah membuatnya terlihat seperti
gadis-gadis lolli di dalam manga. Namun sorot matanya yang tajam dan dingin membuatnya
tetep terlihat menakutkan.
“Maaf ......
“
“Tak perlu kata maaf untuk
mengusirku.”
Dias memotong kalimat yang
belum sempat gadis pelayan selesaikan.
“Lalu?”
“Menunggumu. Rute pulang kita
sama bukan?”
Gadis pelayan mengangguk
tanpa ragu. Ia berlari ke toilet dan mengganti pakaiannya. Beberapa menit
berlalu ketika gadis yang sama keluar dengan tampilanan yang sangat berbeda. Gadis
loli yang tadinya membuat Dias terpesona sirna sudah. Ia telah menjelma menjadi
gadis tomboy yang terlihat hiperaktif.
“Aku tunggu di halte ya!”
Dias berbisik pelan di telinga kanannya.
Gadis pelayan mengangguk dan
membantu rekan kerjanya menutup beberapa jendela. Dias meninggalkan tempat ia
berpijak, melangkah membuka pintu dan sejenak sudah tak terlihat. Tak beberapa
lama gadis pelayan terlihat berlari menuju halte dengan raut wajah yang ceria.
“Sedang bahagia ibu peri?”
tanya Dias ketika gadis pelayan tiba.
“Seperti yang sedang kau lihat
gadis pemurung.”
Dias hanya tesenyum tipis.
“Sudah jangan murung terus.
Tak baik bagi otot-otot wajahmu.”
“Hehe”. Tawa tertahan dari
bibir mungil Dias.
“Berat memang kehilangan
seseorang yang sangat dicintai. Tapi bukankah semua yang hidup akan kembali?”
“Hah?”
“Aku juga pernah
mengalaminya. Tapi kau tak kehilangan orang-orang yang peduli di sekitarmu. Aku
siap menghapus duka mu jika kau bersedia. Bahuku memang hanya berisi tulang
namun cukup nyaman untuk bersandar.” ujarnya santai sambil mengayunkan kedua
kakinya yang menggantung.
“Kau sedang berlagak sok
pahlawan gadis pelayan??”
Dias nyaris meneteskan
buliran air mata, namun ia menahannya. Ada sesuatu bergejolak dihatinya, ia merasakan
seberkas kehangatan menyusup ke setiap pori-pori kulitnya. Menjalar melalui
pembuluh darah dan bermuara ke jantungnya.
__
Dias melirik jam tangannya
dengan sedikit kesal. Waktu terasa berjalan sangat lamban. Ia harus menunggu
sekitar 1 jam lebih sebelum cafe-in buka. Dias akhirnya memutuskan menyebrang
jalan dan menantinya dengan duduk di halte. Tak ada tempat lain untuk duduk di
sekitar cafe itu selain halte ini.
Dari kejauhan Dias melihat
seorang pria mendekati cafe-in, membuka tirai besi cafe itu, Dias berjalan setengah
berlari menuju cafe-in. Ketika tiba tepat di depan pria itu Dias mengamati
wajahnya dengan seksama, Pria berpostur tinggi dengan rambut terjuntai hingga
bahunya. Ia tak mengenali sosok pria itu walau tak terhitung jumlahnya ia
mengunjungi cafe-in.
“Permisi, kok yang ngebuka
cafenya bukan gadis pelayan?” Dias sedikit gugup memberikan pertanyaan itu
tanpa lebih dahulu basa-basi dengannya.
“Gadis pelayan?”
“Gadis mungil dengan poni dan
rambut sebahu, bermata tajam dengan hidung mancung!”
“Kayla kah?”
“Anu ... saya belum tahu
namanya! Maaf”
“Kamu pasti gadis murung itu
bukan?”
Dias tersenyum kecut
mendengarnya. Diam dan tak berujar sepatah katapun.
“Kay sedang cuti, ia sedang
mempersiapkan sidangnya besok!”
“Sidang?”
“Bagaimana kalau kita ngobrol
di dalam? Sembari saya membuatkanmu segelas milkshake.”
Tawaran pria itu membuat Dias
mengangguk tanpa perlawanan. Ia kemudian menuju spot favoritnya, pria tadi
meninggalkannya menuju dapur. Membuatkan segelas milkshake seperti yang ia
janjikan.
“Ini milkshake beserta
sandwich titipan neng Kayla”
Pria itu menyuguhkannya
dengan senyum tulus. Jantung Dias berdegup kencang menatap senyum itu. Lalu
membalas senyum itu dengan sangat kikuk. Kehangatan pria itu membanjiri
dadanya. Membuatnya sedikit tesesak dan sulit mengatur nafas.
“Mengenai Kayla, ia sedang
mempersiapkan sidangnya besok.”
“Sidang?? Sidang sripsi kah?
Aku pikir ia baru lulus SMA!” ujar Dias polos.
“Yap dan ia memang seumuran
anak lulus SMA pada umumnya.”
Dias tercekat mendengarnya. Mulutnya
menganga.
“Kebetulan Kayla tinggal di
sebelah kost ku, jika kau ingin bertemu dengannya aku bisa memberikan alamatnya
untukmu!”
“Oh tidak tidak, aku baru
semalam mengenalnya. Ia anak yang menyenangkan, walau umur kami ternyata
terpaut 3 tahun. Ternyata aku menerima nasehat dari bocah semalam” ujar Dias
dengan dahi berkernyit.
“Hehe anak itu kalau sudah
bicara memang terlihat lebih tua dari umurnya.”
“Ngomong-ngomong siapa
namamu? Aku Dias” Dias mengulurkan tangannya untuk berjabat.
“Leo, aku pun remaja seusia
Kayla.” Leo membalasnya dengan jabatan hangat.
“Yang benar saja? Dari
parasmu kau terlihat seperti bapak-bapak beranak tiga!” timpal Dias tak
percaya.
“Hoi hoi aku belum teramat
tua untuk kau panggil bapak!” Balas Leo tak terima.
“Aku tak yakin kau seumuran
dengan gadis pelayan itu!”
“Tak sopan membicarakan umur
dengan orang yang baru kau kenal! Panggil saja aku kakak atau abang. Usiaku
yang jelas lebih banyak dari mu!”
“Yosh .. Terimakasih ya
infonya, senang berkenalan denganmu om!”
“heeeeeeiiii!” Leo melirik
dengan tatapan ingin membunuh.
Dias masa bodoh dan
menyeruput milkshakenya.